Foto | Ahamad Irawan (Kemeja Hitam) saat mendampingi Klien Foto | Ahamad Irawan (Kemeja Hitam) saat mendampingi Klien

Keinginan Jusuf Kalla Maju Lagi Sebagai Cawapres Adalah Studi Empiris Jabatan Wapres Harus Dibatasi Featured

Jakarta - Alasan Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengajukan dirinya sebagai pihak terkait dalam pengujian pasal tentang batasan jabatan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Tentang Pemilu dinilai tak tepat. Sebab, JK melalui kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin, menilai jabatan Wapres hanyalah pembantu presiden yang setara dengan jabatan Menteri.

 

Menurut Praktisi Hukum Pemilu, Ahmad Irawan, sekalipun bahasa konstitusional yang digunakan di dalam UUD 1945 Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri, bukan berarti kedua jabatan tersebut sama dalam kedudukannya maupun fungsinya.

Ia menegaskan, setelah perubahan UUD 1945, jabatan Wakil Presiden dipilih melalui pemilih umum. Sementara seorang Menteri ditunjuk berdasarkan hak prerogatif Presiden.

 

"Di Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden itu the first man dan the second man. Kedudukannya merupakan satu kesatuan dan tidak terpisah serta dipilih melalui pemilihan umum melalui satu paket pasangan calon," kata Irawan kepada wartawan di Jakarat, Sabtu (21/7/2018).

 

Irawan mengatakan, jika tidak terdapat pembatasan masa jabatan bagi Wakil Presiden, maka menurut penalaran yang wajar Indonesia berpotensi memiliki Wakil Presiden yang sama secara terus menerus.

Lebih lanjut, ia menerangkan, sistem ketatanegaraan di Indonesia, memberi kekuasaan cadangan (power reserve) bagi seorang Wakil Presiden. Wakil Presiden membantu Presiden ketika fungsi kepresidenan masih berjalan. 

Apabila Presiden berhalangan tetap, maka Wakil Presiden tampil sebagai pengganti hingga berakhir masa jabatan. 

 

"Seorang Menteri tidak bisa mengganti Presiden ketika berhalangan tetap. Kecuali Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu bersamaan berhalangan tetap," ujar Irawan.

 

Irawan menilai, keikutsertaan Jusuf Kalla dalam proses pengujian undang-undang yang diajukan Perindo, sebagai Pihak Terkait dapat dibaca sebagai keinginan Jusuf Kalla untuk menjabat kembali sebagai Wakil Presiden, untuk periode ketiga kalinya. 

Selain itu, ia juga mengatakan, keinginan Jusuf Kalla maju kembali sebagai Wakil Presiden menjadi bukti paling empiris pentingnya kekuasaan itu dibatasi masa waktunya. Jika tidak, Indonesia akan terus dipimpin oleh orang yang sama dan itu tidak baik. 

"Jika politik konstitusi kita berubah dari corak “dwitunggal” dan menempatkan Wakil Presiden kedudukannya setara Menteri, maka lebih baik jabatan Wakil Presiden dihapuskan," tutur Irawan.


Sejarah Ketatanegaraan Indonesia


Menurut lelaki yang kerap dipanggil Wawan, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, memang hanya Jusuf Kalla yang menduduki jabatan Wakil Presiden sebanyak dua periode melalui proses pemilihan umum. 

Kondisi ini berbeda dengan Mohammad Hatta yang menduduki jabatan Wakil Presiden lebih dari satu kali mulai tahun 1945 s/d 1956 yang prosesnya dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Tanggal 18 Agustus 1945 dan DPRS pada Tahun 1960. 


"Meskipun pada akhirnya Mohammad Hatta pada Tanggal 1 Desember 1956 mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Jadi Indonesia pernah dipimpin tanpa adanya seorang Wakil Presiden," kata Irawan.

 

Kemudian, baru pada Tahun 1973 Indonesia kembali memiliki Wakil Presiden, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hingga Soeharto lima kali terpilih secara terus menerus sebagai Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden terus berganti dari periode ke periode. Hingga pada akhirnya muncul sejarah baru seorang Wakil Presiden menjadi Presiden karena Soeharto selaku Presiden berhenti dari jabatannya.


"Jadi sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan seorang Presiden pernah berhenti dan Wakil Presiden pernah mengundurkan diri karena ketidakcocokan. Sejarah juga menunjukkan pernah ada seorang Presiden terpilih secara terus menerus," tutur Irawan.


"Jadi dari sejarah tersebut, hanya Jusuf Kalla yang menjabat sebagai Wakil Presiden melalui sebuah proses pemilihan umum yang demokratis. Sedangkan Mohammad Hatta mengundurkan diri karena ketidakcocokan dengan Wakil Presiden dan BJ. Habibie yang menjadi Presiden karena menggantikan Soeharto yang menyatakan berhenti sebagai Presiden," Irawan menambahkan.

Read 1722 times
back to top