Foto/Istimewa Foto/Istimewa

Catatan Kecil Aktivis Serikat Pekerja di Hari May day 2019 Featured

Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba (Ps 10 UUD Sementara Tahun 1950)

Hari ini (29 April 2019) seorang kawan yg menjadi Pengurus Serikat Pekerja (SP) di sebuah perusahaan di daerah Tambun, Bekasi bercerita mengenai praktik yg dilakukan oleh pengusaha yg membayarkan upah bagi pekerja di perusahaannya sebesar Rp. 35 ribu per hari (jikapun pekerja bekerja penuh dalam sebulan sebanyak 30 hari upah yg didapat hanya sebesar 1 juta rupiah), angka ini sangat jauh dari nilai Upah Minimum Tahun 2019 di Kab Bekasi sebesar 4,1 juta per bulannya.

Para pekerja yang dibayar sebesar 35 ribu ini merupakan anggota keluarga pekerja yang 'dibawa' oleh para pekerja yang sudah bekerja sebelumnya di perusahaan..

Cerita tersebut menambah daftar panjang perusahaan yang membayar upah dibawah upah minimum, dari mulai perusahaan yg memproduksi es batu, schafolding, pabrik baja, sparepart otomotif bahkan perusahaan yang memproduksi tas merk terkenal yang juga membayarkan upahnya jauh dibawah Upah Minimum

Pelanggaran thd pelaksanaan upah tsb juga disertai dg pelanggaran lainnya; kepesertaan BPJS Naker dan Kesehatan, jam kerja, THR, lembur, cuti, Kecelakaan kerja, Alat Pelindung Diri (APD) dan syarat K3 lainnya, hubungan kerja fleksibel, termasuk PHK dan pelanggaran lainnya.

Berkenaan dengan perlindungan atas syarat-syarat kerja tersebut jika dikaitkan dg data lainnya seperti jumlah perusahaan di Indonesia yg tercatat di BPJS Naker sebanyak 488 ribu, dimana dari angka tersebut hanya 62 rb-an perusahaan yg sudah memiliki peraturan perusahaan (PP) dan 13 rb-an perusahaan yg sudah mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Ini berarti bahwa ada 400 ribuan perusahaan yang tidak jelas perlindungan syarat-syarat kerja bagi para pekerjanya baik melalui PP ataupun PKB; di pabrik Tambun yang disebut diawal yg sudah ada SP saja pengusaha masih berani bayar upah 35 ribu per hari, maka dapat dipastikan bahwa di 400rb perusahaan tersebut juga terjadi pelanggaran secara massif.

Potret kelam mengenai buruknya kondisi kerja di Indonesia diperparah lagi dg tidak hadirnya negara sebagai pelindung bagi pekerja yang berada pada posisi tawar lebih lemah, pengawasan perburuhan yang kian buruk melalui pergeseran pengawasan dari kabupaten/kota ke provinsi semakin menenggelamkan nasib para pekerja.

Buruh yang selalu sempurna tereksploitasi oleh pemilik modal di semua sisi, dieksploitasi di pabrik dg tuntutan kerja maksimal dengan upah minimal pun juga dieksploitasi di masyarakat untuk menyerap produk yang dihasilkan pemilik modal, dengan upah minimalnya dikuras habis daya belinya membeli produk pemilik modal.

Upah satu juta per bulan sudah pasti sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup pekerja terlebih mereka yang sudah berkeluarga; makan minum, sewa kontrakan, pakaian, pendidikan anak, berobat keluarga. Alih alih mendapat hidup sejahtera yang terjadi para buruh harus bekerja keras utk dapat bertahan hidup; melakukan kerja sampingan (siang hari kerja di perusahaan, malam hari di pangkalan ojek online), lembur terpaksa, harus berhemat, masih meminta subsidi keluarga dan buruh harus berhutang (koperasi, bpr, bank online dan rentenir).

Sejarah konflik dan hukum perburuhan di Indonesia mencatat ada yg disebut sebagai:
Perbudakan;
Peruluran;
Perhambaan;
Poenali sanctie;
Rodi;
yang sejatinya masih terjadi dan berlangsung hingga saat ini. Sistem yang menghisap dan menindas habis buruh; yg berganti kemasan dan tampilannya saja. Akan tetapi tidak merubah ekspolitasinya.

Mengambil contoh kecil, di era kolonial sudah ada aturan mengenai pemberian upah bagi para budak, para budak yg tidak mempunyai pilihan utk dapat mengatur hidupnya sendiri selain perintah pemiliknya.

Tapi apa bedanya perbudakan saat itu dg situasi saat ini dimana kita semua tidak mempunyai banyak pilihan selain dipekerjakan sebagai pekerja magang, harian lepas, kasual, kontrak, bahkan tanpa status dengan upah yang sangat jauh dari upah minimum. Sesuatu yg lebih sistematis dibanding peristiwa seperti penyekapan buruh di pabrik panci di tanggerang menjelang may day 2014 lalu yang hanya berubah modusnya saja.

Di era kolonial dikenal perhambaan, dimana para buruh harus bekerja pada majikannya untuk membayar utang, bekerja buat membayar utang yg tidak kunjung lunas.. Tapi tiada berbeda kondisinya dengan hari ini, dimana harus diakui bahwa kita semua masih bekerja untuk membayar utang.

Buruknya kondisi kehidupan buruh di Indonesia, lemahnya keberpihakan negara serta menurunnya jumlah pekerja yang berserikat tiada lain memberi ruang panas bagi para aktivis Serikat untuk bekerja lebih keras, lebih tekun, lebih fokus, lebih terorganisir. Agar perjuangan bernafas lebih panjang.

Di titik inilah saya kira May day seharusnya tetap menginsyafi kita semua untuk tetap menjaga semangat perlawanan.

Bekasi, 30 April 2019

Read 2726 times
back to top